Cerita versi Bolang
Akhirnya tercapai juga cita cita sederhanaku sejak tahun 2007 yang lalu yaitu menapak kan perjalanan di atas si black roda dua dengan melewati tikungan dan tanjakan di puncak bogor. Kenapa ampe di bilang cita cita sih? soalnya dulu ketika waktu pulang kerja dari bandung via cianjur jakarta lewat puncak dan ini baru pertama kalinya tau yang namanya daerah puncak, pernah ada angan angan, kapan yah ke sini pake motor, wah pasti indah sekali melewati panorama alam di sekitar nya. Dan ternyata memang benar, suasana alami dan pemandangan istewewa di sajikan di sepanjang jalan puncak. Hamparan perkebunan teh yang di mulai sejak Abad 19 yang pada waktu itu masih hutan belantara akan di alih fungsikan menjadi perkebunan teh dan peristirahatan para Gubernur jenderal pada masa itu sampai sekarang tetap berkembang bahkan menjadi komodoti tetap sebagian warga di puncak.
Di sepanjang jalan di jumpai beberapa tempat penjualan oleh oleh khas daerah sini, dan beberapa tempat orang yang sedang duduk menawarkan sewa villa bagi para wisatawan yang mau berlama lama dan lebih merasakan panorama puncak dalam beberapa hari.
Karena cita citanya cuma mau merasakan jalanan di puncak, makanya tidak berlama lama dan tidak harus sewa villa kan,, he he.
Gambar yang di hasilkan juga cuma ala kadarnya, nih
Puncak pass
Perkebunan Teh
Gantole di puncak
Mengarah kota Bogor
Wisata Gunung Emas dari bawah
Pangrango
Terimakasih Black Telah Menemani Perjlananku
Sedikit sejarah Puncak
Sebelum pemerintahan Hindia Belanda membangun Istana Bogor pada tahun 1745, kawasan Puncak adalah sebuah hutan rimba. Namun, begitu Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750) membangun Istana Bogor, terjadi pembabatan pohon di kawasan hutan di Puncak, Bogor. Sebab, Puncak termasuk wilayah yang akan dijadikan sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal.
Pada 1746, salah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda keturunan Jerman yang memiliki reputasi baik ini menggabungkan sembilan distrik (Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga dan Kampung Baru) ke dalam satu pemerintahan yang disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzorg. Dalam perkembangan berikutnya, nama Buitenzorg dipakai untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.
Pembabatan hutan besar-besaran terjadi pada abad ke-19, dimana Puncak akan dijadikan perkebunan teh. Selama hampir dua abad sampai sekitar 1920-an, alih fungsi Puncak dari hutan menjadi perkebunan dan lokasi peristirahatan bagi Gubernur Jenderal terus berlangsung.
Sesungguhnya, pada masa kolonial masalah penebangan pohon mendapat perhatian yang sangat ketat dari pemerintah. Jika bukan untuk keperluan pemerintah atau Gubernur Jenderal, tak ada yang boleh menebang pohon sembarangan.Meskipun tanah-tanah partikelir dikuasai oleh para tuan tanah, penebangan pohon hanya diizinkan terhadap pohon-pohon yang sudah mati. Pemilik tanah tetap tidak boleh menebangi pohon yang tumbuh di atas tanahnya tanpa seizin pemerintah. Apabila ada tuan tanah yang berani menebang pohon hidup tanpa seizin pemerintah, ia akan didenda sebesar 25 gulden. Bahkan hakim polisi dapat mengadili mereka yang menebang pohon yang sudah mati, karena hal tersebut dikategorikan sebagai pencurian kayu pohon.
Pengadilan negeri akan menangani mereka yang tersangkut masalah penebangan pohon jika angkanya lebih dari 25 gulden. Dalam koran Bataviasche Landbouw Vereeninging terbitan 30 Agustus 1915, dibahas masalah penebangan pohon ini, dimana telah terjadi sebanyak 208 kasus.
Sumber : Kompasiana
Sumber : Kompasiana